PERKAWINAN “PADA GELAHANG”DI BALI
Perkawinan “pada gelahang” secara faktual eksistensinya sudah berlangsung sejak tahun 1945 sebagaimana dikemukakan dalam hasil penelitian Bapak Prof. Dr. Wayan P. Windia SH. M Si, Dkk. Sebagai terminologi, periodisasi, isi gagasan tampaknya masih menjadi problema dan menyandang muatan kontroversi. Namun hal tersebut tidak seberapa mengganggu perkembangan isu dan substansi yang ditawarkan oleh perkawinan pada gelahang itu. Sebagai trend, kawin pada gelahang sudah sejak kemunculannya diwadahi dalam berbagai kemasan ritual terlebih dilegalisasi desa mawacara, maka kawin pada gelahang secara substansi justru berkembang biak hingga kini, ibarat sesuatu yang tak mungkin terelakkan. Bahkan dari sudut ini substansi kawin pada gelahang sepertinya baru lahir dan berkembang. Tak berlebihan hampir disegala lini wacana, mulai agama, adat, sosial, moral, hukum, filsafat sampai teologi menuai berhamburan kerangka-kerangka pikir baru yang hanya dapat dimengerti jika kita memahami segala isu yang bermula dilemparkan oleh fenomen kawin pada gelahang.
Sebagai suatu peringatan ketika kita review terhadap pemahaman konsep kawin pada gelahang kita memang mudah terjebak ke dalam berbagai kerancuan perspektif, terutama jika kita hendak amat risih membuat batasan-batasaan tegas yang memisahkan antara kawin pada gelahang, kawin biasa, dan kawin nyentana. Mungkin saja secara karikatoris kawin pada gelahang mudah bercampur baur dengan substansi isinya yang sangat kompleks. Kawin pada gelahang dalam perspektif etika (moralitas) kerap tumpang tindih dengan kawin pada gelahang dalam perspektif filosofis. Yang pertama bicara tentang harmonisasi korelasi Tri Hita Karana dengan pembabakan tersendiri, yang kedua bicara tentang perubahan kerangka dasar pemikiran dengan pembabakannya yang karakeristik pula. Belum lagi pada pembicaraan fenomena kultural menyebabkan antara kulturkritik dan ideologikritik saling berbantahan/berbenturan.
Meski demikian, gagasan penelitian kawin pada gelahang ini tetaplah sangat penting, terutama karena dengan ini kita menjadi tahu fenomena proses demokratisasi dan radikalisasi logika hedonisme dikalangan klas menengah yang senyatanya semakin mampu mengkomsumsi dan sedang sangat bergairah ke arah itu (kawin pada gelahang). Kehidupan kelompok menengah sekarang makin menuntut “gaya”, makin mengalami “estetisasi”, maka hasil penelitian ini banyak relevansinya untuk memperlihatkan sisi-sisi terselubung dan berbagai konsekuensi dari kawin pada gelahang itu. Secara referensial pada sumber ajaran agama (Hindu) seperti Veda dan kitab Manawadharmasastra tidak kami temukan secara tegas mengenai substansi kawin “pada gelahang” tersebut.
Misalnya di dalam Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan disusun I Made Titib. Pada romawi VII. 7.8.3.1 tentang Perkawinan* (Vivaha) hanya menyebutkan tujuan perkawinan itu meliputi dharmasampatti (bersama-sama, suami istri mewujudkan pelaksanaan dharma), Praja (melahirkan keturunan), dan rati (menikmati kehidupan seksual dan kepuasan indria lainnya). Jadi tujuan utama perkawinan adalah melaksanakan Dharma. (Titib,1996:394).
Demikian juga di dalam Manawadharmasastra Buku IX tentang Atha Nawanodhayayah sloka 132, 133, 134, 135 dan 136 hanya mengatur pengangkatan wanita menjadi status purusa. Jadi jelas dalam Kitab Suci Manawadharmasastra tidak mengatur tentang kawin pada gelahang. Namun di dalam Kesimpulan Paruman PHDI Propinsi Bali tanggal 29 Desember 2008 memuat beberapa kesimpulan yang direkomendir oleh PHDI Prop. Bali dengan Keputusan Pesamuhan Agung PHDI Nomor 13/Kep/P.A.Parisada/X/2009.
Adapun kesimpulan tersebut terdiri dari :
1. Perkawinan “negen dadua” adalah perkawinan yang dilangsungkan sesuai ajaran agama Hindu dan Hukum Adat Bali yang tidak termasuk perkawinan biasa (yang dikenal juga dengan sebutan “kawin keluar”) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal pula dengan sebutan kawin kaceburin atau “kawin kedalam”), melainkan suami dan istri tetap berstatus kepurusa dirumahnya masing-masing. Sehingga harus mengemban dua tanggung jawab dan kewajiban (swadharma) yaitu meneruskan tanggung jawab keluarga istri dan juga meneruskan tanggung awab keluarga suami secara sekala maupun niskala. Menurut agama Hindu dapat dibenarkan sesuai dengan sumber hukum Hindu yang disebut dengan “dharma mulam”, adalah sebagai berikut :
1. Sruti adalah veda atau wahyu
2. Smerti adalah penafsiran terhadap wahyu dari orang-orang suci
3. Sila adalah perilaku orang sadu atau orang baik
4. Acara adalah Kebiasaan yang baik yang sudah diyakini benar oleh masyarakat.
5. Atmanastuti adalah tingkah laku yang baik dan telah memberikan kepuasan atau kebahagiaan pada diri sendiri.
2. Perkawinan “negen dadua” di setiap tempat/ wilayah di Propinsi Bali mempunyai nama yang berbeda. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti Perhimpunan Dosen Hukum Adat (Pershada) Bali, 2008, telah ditemukan beberapa nama adalah Perkawinan pada gelahang, Perkawinan mepanak bareng, Perkawinan nadua umah, Perkawinan mekaro lemah, Negen atau negen ayah, Perkawinan magelar warang,, Perkawinan parental, Perkawinan mekaro lemah atau Madue umah, Perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara mepamit.
3. Masalah jumlah masyarakat yang melaksanakan perkawinan “negen dadua” menurut hasil penelitian diseluruh Kabupaten di Bali telah ditemukan sejumlah 28 pasangan, bahkan mungkin lebih. Karena banyak masyarakat yang tidak mau perkawinan “negen dadua” yang telah dilakukannya dipublikasikan.
4. Dalam paruman walaka telah dibahas dan kemudian disimpulkan bahwa karena banyak masyarakat di Bali yang telah melakukan perkawinan “negen dadua” atau dengan berbagai istilah lainnya dan oleh karena sudah memiliki Landasan agama Hindu. Maka perkawinan “negen dadua” menurut hukum Hindu dapat dibenarkan atau tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu.
5. Perkawinan “negen dadua” merupakan pergeseran budaya yang positif, yaitu dari perkawinan “negen dadua” telah memunculkan hak anak/anak-anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak mewaris dari orang tuanya. Sehingga merupakan sebuah penghargaan terhadap hukum hak azasi manusia, khususnya terhadap anak/anak-anak yang lahir perempuan.
6. Sebagai syarat sahnya perkawinan “negen dadua” dapat disimpulkan apabila telah melakukan beberapa proses agama hindu dan adat Bali, yaitu, a. Sudah dilangsungkan upacara pabiyakaonan, b. Tidak dilakukan upacara mepamit, c. Sudah disepakati oleh mempelai, Orang tua (Ayah, Ibu kedua belah pihak).
7. Akibat yang ditimbulkan dari dilangsungkannya perkawinan ”negen dadua” adalah mempelai perempuan berstatus purusa, sehingga merupakan pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya. Begitu juga mempelai laki-laki tetap berstatus purusa atau pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya.
8. Anak/anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan “negen dadua” hadapannya dengan status kepurusa, yang kemudian menimbulkan kewajiban (swadarma) dan hak (swadikara) dan atau hubungan pergaulan dengan masyarakat setempat (pasidikaran) akan ditentukan sesuai kesepakatan.
Jika disebutkan, bahwa perkawinan “pada gelahang” dapat dibenarkan karena tidak bertentangan dengan ajaran agama Hindu, kiranya perlu lebih dipertegas mengenai ajaran agama Hindu yang mana. Salah satu contoh dari pijakan Manawadharmasastra Buku III sloka 11 “Yasyastuna bhawes bratana, wijnayeta wa pita, nopayacchetatam prajnah, putrika dharma cangkaya”, bahwa kurang bijaksana mengawini wanita yang tidak mempunyai saudara laki-laki. Hal ini dikhawatirkan kalau-kalau wanita itu statusnya telah diangkat kestatus laki-laki (putrika), sehingga dalam konteks ini akan berlaku ketentuan “matriarhat”. Sedangkan sampai saat ini ketentuan yang berlaku baik dalam perkawinan biasa maupun perkawinan nyentana adalah ketentuan “patriarhat”. Ujung-ujungnya akan menyangkut hak dan kewajiban. Apakah hak dan kewajiban hanya cukup dijustifikasi dengan “kesepakatan”? Bagaimana dari sisi moral agama, filsafat dan hukum?
Bila agama berbicara tentang topik-topik moral pada umumnya agama akan berkotbah, artinya agama berusaha memberi motivasi dan inspirasi supaya umatnya mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang telah diterimanya berdasarkan iman. Jika filsafat bicara tentang topik-topik moral, filsafat akan berargumentasi, artinya ia berusaha memperlihatkan bahwa suatu perbuatan tertentu harus dianggap baik atau buruk, hanya dengan menunjukkan alasan-alasan rasional.
Moral memang sangat erat kaitannya dengan agama, begitu juga dengan hukum. Baik hukum maupun moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja. Sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin seseorang. Itulah perbedaan antara legalitas dan moralitas sebagaimana ditekankan Immmanuel Kant, yang dikutip Bertens K, bahwa hukum hanya meminta legalitas, artinya kita memenuhi hukum jika tingkah laku lahiriah sesuai dengan hukum. Sikap bathin dalam hal itu tidak penting, karena niat bathin tidak termasuk jangkauan hukum. Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak Negara. Hukum adat, kita tahu tidak secara langsung berasal dari Negara, namun hukum adat harus diakui oleh Negara supaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun dengan cara lain masyarakat dapat mengubah hukum, tetapi tidak pernah masyarakat dapat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah moral tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak. Seperti juga setiap individu, masyarakatpun harus mematuhi norma moral.
Bagaimana tentang hak dan kewajiban sebagai akibat kawin pada gelahang. Seharusnya dibedakan secara tegas antara hak legal dan hak moral. Hak legal adalah hak yang didasarkan atas hukum dalam salah satu bentuk. Dengan demikian hak-hak legal berasal dari undang-undang, peraturan hukum atau dokumen legal lainnya. Dengan kata lain bahwa hak legal didasarkan atas prinsip hukum.
Jika hak legal berfungsi dalam sistim hukum, maka hak moral berfungsi dalam sistim moral. Dengan kata lain baik di dalam hak maupun kewajiban terkaper sebuah tanggung jawab (responsibity) dalam tindak sosial. Artinya tanggungjawab disini adalah tanggung jawab bertindak (responsibility of act) yang dilandasi cara-cara yang dapat dijustifikasi secara normatif. Dalam konteks ketika pelaksanaan kawin pada gelahang salah satu syarat untuk sahnya perkawinan itu “tidak melakukan upacara mepamit”. Syarat ini seakan-akan masih terselubung menyimpan sesuatu unthinkable (yang tak terpikirkan), unimaginable (tak terbayangkan), dan unrepresentable (tak terepresentasikan), sehingga persyaratan itu ibarat kendaraan yang membawa masuk kedalam keliaran imajinasi dan fantasi, ke dalam teritorial-teritorial yang melampaui batas tabu, moral dan spiritualitas.
Kenyataannya dalam konstelasi sosial agama Hindu justru dengan “mepamit” yang wujudnya adalah “mejauman” sesudah upacara pebiyakaonan mempelai diajak ke mrajan sembahyang “mohon restu” kepada Bhetara Hyang Guru dan para leluhur sekaligus nunas tirtha yang akan di kukuhkan sebagai saksi niskala tatkala upacara “widhi widana”. Jika prosesi ini tidak ada berarti “Tri kang sinengguh saksi” menjadi kurang yaitu Dewa Saksinya. Oleh karena itu masih perlu diberikan penjelasan dan argumentasi mengapa upacara mepamit itu tidak diperlukan.
Masih banyak yang perlu dibahas dalam suatu forum akbar dengan melibatkan kompetensi agama, adat, institusi, akademisi, Sadaka, dan lain-lain terutama menyangkut akibat kawin “pada gelahang”, seperti masalah hukum waris ,konsistensi azas perkawinan, paradigma bentuk dan cara perkawiinan “pada gelahang”, dan lain sebagainya.
Sebagai representasi akhir kami sajikan sebuah editorial karya Alfathri Adlin dengan prolog “Ada seorang pangeran kecil dengan mahkota ajaibnya dan penyihir jahat menculiknya, mengurungnya di menara, membuatnya jadi bisu. Di menara itu ada jendela berterali dan anak itu membenturkan kepalanya ke terali, berharap seseorang akan mendengar suaranya dan menemukannya. Mahkota itu membuat suara terindah yang pernah didengar orang. Suaranya bergema sampai jauh. Begitu indahnya suara tersebut ,sehingga orang merasa ingin menangkap udara. Mereka tak menemukan sang pangeran, tak pernah menemukan kamarnya, tetapi suara itu memenuhi hati setiap orang dengan keindahan.
Analoginya bahwa kawin ”pada gelahang” adalah wahana representasi realitas, citraan perkawinan penuh proses penafsiran yang kontinyu, dan tak pernah diketahui keadaan obyektifnya? Dan kemudian lagi, apakah tafsiran-tafsirannya tersebut ternyata adalah “suara indah diudara” yang malah menutupi “isyarat permintaan tolong sang pangeran kecil/sang pengantin”? Sehingga representasi kawin pada gelahang belum mampu menghadirkan eksistensinya secara representatif, namun justru membentuk jurang antara representasi dengan yang direpresentasikan. Inilah pekerjaan rumah (PR) kita.
Ketika ada kecendrungan untuk menetapkan kawin “pada gelahang” sebagai hukum tertulis, kami kurang sependapat. Memang hukum tertulis mempunyai keuntungan sebagai rujukan referensi bagi generasi mendatang. Namun kelemahannyapun tak dapat dihindari manakala terjadi masalah terutama mencari solusinya. Kesulitan akan muncul , karena belum adanya standar penilaian, yaitu kriteria-kriteria yang disepakati bersama yang akan menentukan baik benar/salah, maupun obyektivitas/subyektivitas. Artinya, dengan kondisi ketiadaan kriteria bersama (desa mawacara), tidak mungkin dilakukan sebuah penilaian rasional (rational judgement), sebab penilaian rasional hanya bisa dilakukan bila ada ukuran-ukuran seperti efektivitas, efisiensi, dan sebagainya. Penilaian yang tanpa kriteria dan ukuran-ukuran adalah penilaian yang irasional yang semata-mata bersifat subyektif. Tidak dapat dihindari juga akan terjadi perdebatan menyangkut keadilan (justice). Adil (just) adalah terciptanya sebuah ruang publik yang membuka peluang bagi setiap orang untuk berpartisipasi secara bebas dan setara di dalam sebuah perdebatan yang bertujuan untuk mencapai konsensus menyangkut norma-norma yang mengatur tingkah laku mereka tanpa ada dominasi, pemaksaan dan kekerasan di dalamnya. Norma-norma dilegitimasi oleh konsensus universal yang legitimasinya sendiri dilandasi oleh kondisi-kondisi perbincangan rasional (rational speech). Kondisi keadilan yang ideal tersebut merupakan pilar dari demokrasi hukum tertulis yang di dalamnya setiap warga membentuk identitas mereka yang jalin menjalin secara mutual melalui perundingan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Berkenaan dengan itu kami berpendapat kawin “pada gelahang” tetap saja sebagai hukum adat (tidak tertulis), meski pada saat mencari kebenaran akhir akan terhambat adanya penafsiran, baik penafsiran retrospektif yaitu upaya untuk merekonstruksi makna atau kebenaran awal atau orisinil maupun penafsiran prospektif yang secara eksplisit membuka pintu bagi indeterminasi makna di dalam sebuah pencarian solusi terbaik. Dengan tidak tertulis akan memberi peluang dan ruang kreatif dan tindakan moral bagi prajuru untuk mencarikan solusi. Dengan demikian belum saatnya kawin ”pada gelahang” dijadikan hukum tertulis, tetapi akan lebih baik sebagai bentuk perkawin alternatif dengan mekanisme yang disepakati virtue desa mawacara.
Ijin share bli
BalasHapusIjin share bli
BalasHapus